Senin, 22 April 2013

Pertambangan -4 (Pasca Tambang


Aspek Perpajakan dalam Pertambangan


Mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak. Karena itu, pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan.
Kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan kegiatan usaha pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan.
Pada umumnya suatu perusahaan yang bergerak dibidang pertambangan mempunyai siklus usaha sebagai berikut :
1.    Penyelidikan umum;
2.    Eksplorasi;
3.    Studi Kelayakan;
4.    Konstruksi;
5.    Pertambangan/Eksploitasi;
6.    Reklamasi

Masing-masing proses tersebut terdapat kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi oleh perusahaan. Berikut disampaikan kewajiban perpajakan masing-masing siklus:
1.    Penyelidikan Umum: Untuk menentukan potensi mineral pada suatu daerah perlu dilakukan pengujian geologis, untuk itu dibutuhkan jasa dari pihak peneliti geologis untuk melakukan Penelitian.  Atas jasa tersebut terutang PPN dan PPh Pasal 23/26 tergantung siapa yang melaksanakan.
2.    Eksplorasi: Adalah rangkaian kegiatan penelitian, pengujian kandungan mineral, pemetaan wilayah dan kegiatan lainnya yang dibutuhkan untuk mendapatkan informasi tentang lokasi, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya serta info lingkungan sosial dan lingkungan hidup.  Diperlukan jasa dari pihak ketiga yang akan terutang PPN dan PPh Pasal 23/26 tergantung pihak yang melaksanakan.
3.    Studi Kelayakan: Dilakukan untuk mendapatkan informasi kelayakan ekonomis dan teknis pertambangan dan proses analisis mengenai dampak lingkungan dan perencanaan pasca tambang, studi kelayakan tersebut memuat data dan keterangan mengenai usaha tambang tersebut. Proses ini dilakukan oleh pihak ketiga yang ahli mengenai hal tersebut. Atas jasa pengujian tersebut terutang PPN dan PPh Ps 23.
4.    Konstruksi: Setelah diketahui bahwa proyek pertambangan layak secara ekonomis teknis dan lingkungan, maka dilakukan pembangunan infrastruktur.  Pembangunan infrastruktur biasanya dilakukan oleh perusahaan konstruksi. Jasa akan terutang PPN dan PPh Pasal 4 ayat (2) atas jasa konstruksi.
5.    Pertambangan/Eksploitasi: Kegiatan ini biasanya meliputi Land clearing (proses pembukaan lahan), Pengeboran dan penggalian, pengolahan/pemurnian, pengangkutan dan penjualan. Atas jasa yang dilakukan oleh pihak ketiga terutang PPh Pasal 23/26 dan PPN.
6.    Reklamasi: Adalah proses rehabilitasi lingkungan yang rusak akibat kegiatan penambangan. Apabila proses reklamasi dilakukan oleh pihak ketiga maka akan terutang PPh Pasal 23/26 dan PPN.

Selain jenis pajak tersebut diatas, juga terdapat kewajiban pembayaran pajak atas PPh Pasal 21 yaitu untuk pegawai tetap, pegawai tidak tetap, orang pribadi yang bukan pegawai atas upah yang diterima.

Ketentuan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perusahaan Pertambangan
Selain hal-hal diatas, harus diperhatikan juga tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
1.    Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pada:
a.    Pasal 1 Angka 1 menyatakan bahwa Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang rneliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang;
b.    Pasal 128 menyatakan bahwa Pemegang IUP atau IUPK wajib membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah. Pendapatan negara yang dimaksud yang terdiri atas penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak. Adapun penerimaan pajak yang dimaksud terdiri atas pajak-pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan serta bea masuk dan cukai.
Sedangkan penerimaan negara bukan pajak terdiri atas iuran tetap, iuran eksplorasi, iuran produksi, dan kompensasi data informasi. Dalam hal pendapatan daerah terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah dan pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.    Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 Tentang pajak Bumi dan Bangunan yang menjadi obyek pajak bumi dan bangunan adalah bumi dan/atau bangunan dan yang menjadi subyek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
3.    Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-16/PJ.6/1998 Tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada Pasal 1 Angka 8, Sektor Pertambangan adalah objek Pajak Bumi dan Bangunan yang meliputi areal usaha penambangan bahan-bahan galian dari semua golongan yaitu bahan galian strategis, bahan galian vital dan bahan galian lainnya;
4.    Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-16/PJ.6/1998 Tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada Pasal 8, Besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas objek Pajak Sektor Pertambangan Non Migas selain Pertambangan Energi Panas Bumi dan Galian C ditentukan sebagai berikut:
a.    Areal Produktif adalah sebesar 9,5 x hasil bersih galian tambang dalam satu tahun sebelum tahun pajak berjalan.
b.    Areal belum produktif, tidak produktif dan emplasemen serta areal lainnya didalam atau diluar wilayah kuasa pertambangan, adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya.
c.     Objek Pajak berupa bangunan adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 15.
5.    Sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-47/PJ.6/1999 Tentang Penyempurnaan Tata Cara Pengenaan Pbb Sektor Pertambangan Non Migas Selain Pertambangan Energi Panas Bumi Dan Galian C Sebagaimana Diatur Dengan Surat Edaran Nomor : Se-26/Pj.6/1999, pengenaan PBB atas areal belum produktif dan areal tidak produktif disempurnakan dengan memperhitungkan tahapan kegiatan penambangan sebagai berikut:
a.    Penyelidikan umum, adalah sebesar 5% dari luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan;
b.    Eksplorasi pada tahun ke-satu s/d ke-lima, masing-masing sebesar 20% dari luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan;
c.     Eksplorasi untuk perpanjangan I dan II, adalah sebesar 50% dari luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan;
d.    Pembangunan Fasilitas Eksploitasi (konstruksi) sampai dengan produksi adalah luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan.

Ketentuan Fiskal (Perpajakan)
Dalam UU Minerba, beberapa ketentuan fiskal di dalam UU Minerba adalah sebagai berikut:
a.    Tarif perpajakan mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku dari waktu ke waktu/ prevailing law (Pasal 133 Ayat 3 dan Ayat 5, Pasal 136).
b.    Adanya kewajiban perpajakan tambahan sekitar 10%, yakni 6% untuk pemerintah pusat dan 4% untuk pemerintah daerah (Pasal 134 Ayat 1).
c.     Besaran tarif iuran produksi (royalty) ditetapkan berdasarkan tingkat pengusahaan, produksi dan harga (Pasal 137 Ayat 1).

Saat ini UU Minerba yang baru yaitu Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 (UU No. 4/2009) tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menggantikan UU No. 11/1967. Usaha pertambangan sesuai dengan Pasal 35 UU No. 4/2009 dilaksanakan dalam bentuk:
1.    IUP atau Izin Usaha Pertambangan,
2.    IPR atau Izin Pertambangan Rakyat, dan
3.    IUPK atau Izin Usaha Pertambangan Khusus.

Dengan diberlakukannya UU No. 4/2009, sesuai dengan ketentuan penutupnya, UU No. 11/1967 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Namun demikian, tidak semua ketentuan yang ada pada UU No. 11/1967 tersebut dicabut dan langsung dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dalam ketentuan peralihan Pasal 169 huruf a UU No. 4/2009 dinyatakan bahwa Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) masih berlaku sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian. Hal ini dikarenakan KK dan PKP2B merupakan suatu kontrak yang sah dan harus dihormati oleh pihak-pihak yang membuat.

Pertambangan -4 (Pasca Tambang


Aspek Perpajakan dalam Pertambangan


Mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak. Karena itu, pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan.
Kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan kegiatan usaha pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan.
Pada umumnya suatu perusahaan yang bergerak dibidang pertambangan mempunyai siklus usaha sebagai berikut :
1.    Penyelidikan umum;
2.    Eksplorasi;
3.    Studi Kelayakan;
4.    Konstruksi;
5.    Pertambangan/Eksploitasi;
6.    Reklamasi

Masing-masing proses tersebut terdapat kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi oleh perusahaan. Berikut disampaikan kewajiban perpajakan masing-masing siklus:
1.    Penyelidikan Umum: Untuk menentukan potensi mineral pada suatu daerah perlu dilakukan pengujian geologis, untuk itu dibutuhkan jasa dari pihak peneliti geologis untuk melakukan Penelitian.  Atas jasa tersebut terutang PPN dan PPh Pasal 23/26 tergantung siapa yang melaksanakan.
2.    Eksplorasi: Adalah rangkaian kegiatan penelitian, pengujian kandungan mineral, pemetaan wilayah dan kegiatan lainnya yang dibutuhkan untuk mendapatkan informasi tentang lokasi, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya serta info lingkungan sosial dan lingkungan hidup.  Diperlukan jasa dari pihak ketiga yang akan terutang PPN dan PPh Pasal 23/26 tergantung pihak yang melaksanakan.
3.    Studi Kelayakan: Dilakukan untuk mendapatkan informasi kelayakan ekonomis dan teknis pertambangan dan proses analisis mengenai dampak lingkungan dan perencanaan pasca tambang, studi kelayakan tersebut memuat data dan keterangan mengenai usaha tambang tersebut. Proses ini dilakukan oleh pihak ketiga yang ahli mengenai hal tersebut. Atas jasa pengujian tersebut terutang PPN dan PPh Ps 23.
4.    Konstruksi: Setelah diketahui bahwa proyek pertambangan layak secara ekonomis teknis dan lingkungan, maka dilakukan pembangunan infrastruktur.  Pembangunan infrastruktur biasanya dilakukan oleh perusahaan konstruksi. Jasa akan terutang PPN dan PPh Pasal 4 ayat (2) atas jasa konstruksi.
5.    Pertambangan/Eksploitasi: Kegiatan ini biasanya meliputi Land clearing (proses pembukaan lahan), Pengeboran dan penggalian, pengolahan/pemurnian, pengangkutan dan penjualan. Atas jasa yang dilakukan oleh pihak ketiga terutang PPh Pasal 23/26 dan PPN.
6.    Reklamasi: Adalah proses rehabilitasi lingkungan yang rusak akibat kegiatan penambangan. Apabila proses reklamasi dilakukan oleh pihak ketiga maka akan terutang PPh Pasal 23/26 dan PPN.

Selain jenis pajak tersebut diatas, juga terdapat kewajiban pembayaran pajak atas PPh Pasal 21 yaitu untuk pegawai tetap, pegawai tidak tetap, orang pribadi yang bukan pegawai atas upah yang diterima.

Ketentuan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perusahaan Pertambangan
Selain hal-hal diatas, harus diperhatikan juga tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
1.    Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pada:
a.    Pasal 1 Angka 1 menyatakan bahwa Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang rneliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang;
b.    Pasal 128 menyatakan bahwa Pemegang IUP atau IUPK wajib membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah. Pendapatan negara yang dimaksud yang terdiri atas penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak. Adapun penerimaan pajak yang dimaksud terdiri atas pajak-pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan serta bea masuk dan cukai.
Sedangkan penerimaan negara bukan pajak terdiri atas iuran tetap, iuran eksplorasi, iuran produksi, dan kompensasi data informasi. Dalam hal pendapatan daerah terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah dan pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.    Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 Tentang pajak Bumi dan Bangunan yang menjadi obyek pajak bumi dan bangunan adalah bumi dan/atau bangunan dan yang menjadi subyek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
3.    Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-16/PJ.6/1998 Tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada Pasal 1 Angka 8, Sektor Pertambangan adalah objek Pajak Bumi dan Bangunan yang meliputi areal usaha penambangan bahan-bahan galian dari semua golongan yaitu bahan galian strategis, bahan galian vital dan bahan galian lainnya;
4.    Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-16/PJ.6/1998 Tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada Pasal 8, Besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas objek Pajak Sektor Pertambangan Non Migas selain Pertambangan Energi Panas Bumi dan Galian C ditentukan sebagai berikut:
a.    Areal Produktif adalah sebesar 9,5 x hasil bersih galian tambang dalam satu tahun sebelum tahun pajak berjalan.
b.    Areal belum produktif, tidak produktif dan emplasemen serta areal lainnya didalam atau diluar wilayah kuasa pertambangan, adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya.
c.     Objek Pajak berupa bangunan adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 15.
5.    Sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-47/PJ.6/1999 Tentang Penyempurnaan Tata Cara Pengenaan Pbb Sektor Pertambangan Non Migas Selain Pertambangan Energi Panas Bumi Dan Galian C Sebagaimana Diatur Dengan Surat Edaran Nomor : Se-26/Pj.6/1999, pengenaan PBB atas areal belum produktif dan areal tidak produktif disempurnakan dengan memperhitungkan tahapan kegiatan penambangan sebagai berikut:
a.    Penyelidikan umum, adalah sebesar 5% dari luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan;
b.    Eksplorasi pada tahun ke-satu s/d ke-lima, masing-masing sebesar 20% dari luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan;
c.     Eksplorasi untuk perpanjangan I dan II, adalah sebesar 50% dari luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan;
d.    Pembangunan Fasilitas Eksploitasi (konstruksi) sampai dengan produksi adalah luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan.

Ketentuan Fiskal (Perpajakan)
Dalam UU Minerba, beberapa ketentuan fiskal di dalam UU Minerba adalah sebagai berikut:
a.    Tarif perpajakan mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku dari waktu ke waktu/ prevailing law (Pasal 133 Ayat 3 dan Ayat 5, Pasal 136).
b.    Adanya kewajiban perpajakan tambahan sekitar 10%, yakni 6% untuk pemerintah pusat dan 4% untuk pemerintah daerah (Pasal 134 Ayat 1).
c.     Besaran tarif iuran produksi (royalty) ditetapkan berdasarkan tingkat pengusahaan, produksi dan harga (Pasal 137 Ayat 1).

Saat ini UU Minerba yang baru yaitu Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 (UU No. 4/2009) tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menggantikan UU No. 11/1967. Usaha pertambangan sesuai dengan Pasal 35 UU No. 4/2009 dilaksanakan dalam bentuk:
1.    IUP atau Izin Usaha Pertambangan,
2.    IPR atau Izin Pertambangan Rakyat, dan
3.    IUPK atau Izin Usaha Pertambangan Khusus.

Dengan diberlakukannya UU No. 4/2009, sesuai dengan ketentuan penutupnya, UU No. 11/1967 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Namun demikian, tidak semua ketentuan yang ada pada UU No. 11/1967 tersebut dicabut dan langsung dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dalam ketentuan peralihan Pasal 169 huruf a UU No. 4/2009 dinyatakan bahwa Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) masih berlaku sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian. Hal ini dikarenakan KK dan PKP2B merupakan suatu kontrak yang sah dan harus dihormati oleh pihak-pihak yang membuat.

Senin, 15 April 2013

PERKEMBANGAN POLITIK RI


Perkembangan Sistem Politik RI
Secara Umum perkembangan politik negara Indonesia dapat digambarkan dalam poin-poin sebagai berikut:
a. Periode 17 Agustus 1945 – 27 Desember 1949
- dikenal sebagai masa mempertahankan kemerdekan (Bld ingin tetap menjajah)
- perjuangan bersenjata/diplomasi
- bentuk negara kesatuan, bentuk pemerintahan republic
Sistem pemerintahan presidensial, nov 45 dikeluarkan maklumat Pemerintah no X yang membuat
sistem pemerintahan berubah Jadi parlementer (cirri khasnya ada PM)
- Menggunakan UUD ’45 (16 bab 37 pasal)
- Lewat perjanjian KMB di Den Haag Bld 27 Des ’49 pengakuan kemerdekaan diperoleh dalam
   bentuk RIS, pertikaian dengan Belanda selesai.
b. 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950
- Masa bentuk negara serikat (Indonesia terdiri dari16 negara bagian)
- bentuk pemerintahan republik
                – sistem pemerintahan demokra si parlementer
- Penggunaan UUD RIS ’50 (6 bab 197 pasal).
- dikenal adanya lembaga legislatif berupa senat dan DPR
- mulai muncul benih leberalisme
- muncul tuntutan rakyat untuk Kembali ke bentuk kesatuan (tercapai tgl 17 Agust 1950)
                – mulai muncul berbagai gang guan keamanan dalam negeri, berupa pemberontakan di daerah
c. 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959
- Bentuk negara kesatuan,bentuk pemerintahan republic, sistem pemerthan parlementer
dengan penerapan demokrasi Liberal ala barat
                – Penggunan UUD S ’50 (4 bab 146 pasal)
- Pemilu I direncanakan masa Kabinet Ali – wongso dan dilaksanakan masa kabinet Burhanudin
   Harahap. dilaksanakan 2 kali : 29 sept ’55 (legislatif), 15 Des ’55 (konstituante)
- Kondisi negara sangat labil karena :
                      1. separatisme meluas
                      2. meluasnya pengaruh parpol beroposisi thd pemerintah pusat
                     3. Konstituante gagal menyelesaikan tugasnya
- akhirnya dikeluarkan keluar dekrit presiden
d. 5 Juli 1959 -11 Maret 1966
- Masa demokrasi terpimpin Dikenal dengan Orde Lama
- Bentuk negara Kesatuan , Bentuk pemrthn Republik , pmrthn parlementer dipakai UUD ’45
- Dikenal sebagai masa keemasan dan Kejatuhan Soekarno
- Masa puncak penyelewengan Thdp pelaksanan UUD ’45
- Masa Indonesia cenderung ke Blok timur dan anti barat
- komunisme mencapai puncak Perkembangan di Indonesia
- Indonesia keluar dari PBB, Konfrontasi Indonesia – Malay Sia, masalah Irian Barat
- pemberontakan PKI
e. 11 Maret 1966 – 21 Mei 1998
- Dikenal dengan masa Orde Baru dengan tekad melaksanakan Panca sila dan UUD ’45 secara murni
   dan konsekuen
– Awal : baik
   Perkmb: menyimpang, dijadikan alat melegitimasi kekua saan
- Pemasungan kehidupan demokrasi, KKN merajalela, otoriter
- 21 Mei 1998 Soeharto jatuh yang menandai berakhirnya masa Orde Baru di Indonesia
f. 21 Mei 1998 – 23 Juli 2001
- Dikenal masa orde reformasi ,bertekad melaksanakn reformasi di segala bidang kehidupan
- Demokrasi dan HAM dijunjung tinggi.
- parlemen posisinya menguat, kondisi politik belum stabil, Kedudukan presiden banyak digoyang
   parlemen
- masa Gus Dur mengeluarkan Dekrit Presiden dengan isi:
                   1. bubarkan Golkar
                   2. percepat pemilu
                   3. bekukan DPR/MPR
                   dekrit gagal bahkan Gus Dur dijatuhkan parlemen
- Timor timur lepas dari Indonesia
g. 21 Juli 2001 dst
- Dikenal dengan masa reformasi
- Penegakan demokrasi dan HAM makin ditingkatkan
- kondisi politik lebih stabil, kedudukan presiden kuat, parlemen juga kuat
- Pemilu langsung 2004 diadakan untuk memilih presiden dan anggota legislatif (DPR dan DPD)
- Pemilu langsung 2009 berhasil dilaksanakan dengan baik dan lancar, memilih anggota legislatif
   (DPR dan DPD) ,  presiden dan wakil presiden

MENGANALISIS BUDAYA POLITIK IINDONESIA


Pengertian Budaya :
Merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia yang dibuat untuk menyempurnakan hidupnya.
Budaya ini muncul secara alamiah sejalan dengan proses perkembangan manusia itu sendiri.
Budaya ini muncul di segala bidang kehidupan manusia.
Dalam perkembangannya, budaya tiap manusia tidak sama. Kenapa hal ini bisa berbeda? Ada 2 faktor yang membedakannya yaitu:
-          Factor lingkungan
-          Kondisi geografis

Politik
Pengertian umum : Suatu proses pengambilan keputusan dalam sebuah kelompok. Dimaksud kelompok
Di sini bisa pemerintahan, dunia pendidikan, institusi keagamaan dll.
Pengertian khusus : seni mengatur negara
Contoh-contoh tindakan politik misalnya :
Bid eksekutif : penyusunan RAPBN
Bid legislative : pembuatan RUU
Yudikatif          : pembubaran parpol oleh MA

Budaya Politik
Adalah pola-pola sikap atau perilaku serta keyakinan-keyakinan yang dipraktekkan sebuah masyarakat karena system politik tertentu yang mereka anut.


Tipe budaya politik yang berkembang di Indonesia
a. Sikap politik radikal
Dimaksud dengan budaya ini adalah kebiasaan menyelesaikan setiap masalah dengan kekerasan, bahkan bila perlu dengan pendekatan militer. Sikap ini muncul dari adanya rasa tidak puas dengan keadaan sekarang dan ingin mengubahnya sampai ke akar-akarnya.
Propaganda atau pengerahan massa selalu menjadi cara yang efektif mencapai tujuan. Permasalahan banyak dipicu oleh perasaan superioritas agama, suku atau budaya tertentu, dll.
Contoh : banyaknya pemberontakan DI/TII, PKI dll

b. Sikap politik moderat
Budaya ini cenderung bersikap lunak dan kooperatif. Pada dasarnya tetap menginginkan perubahan hanya caranya lebih moderat dan menyelesaikan permasalahan dengan diskusi dan menghargai pendapat atau pandangan pihak lain. Karena sikapnya yang cenderung kompromistis ini sering dipandang lemah atau tidak tegas berpegang pada suatu prinsip.
Contoh ini : masa pembentukan dasar negara dalam Piagam Jakarta (ada kompromi antara gol islam dengan nasionalis untuk menghilangkan bunyi  “dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya dari bunyi sila I)

c. Sikap politik liberal
Sikap politik ini sangat menjunjung tinggi kebebasan individu dalam semua aspek kehidupan serta memberi keleluasaan kepada rakyat untuk memperoleh hak-hak mereka. Peran negara dalam mengatur kehidupan rakyat hanya terbatas pada konstitusi tertulis maupun tidak tertulis.
Contoh : pelaksanaan politik di masa demokrasi liberal

d. Sikap politik status quo
sikap politik ini jelas tidak menghendaki  adanya perubahan situasi dan kondisi yang ada demi mempertahankan rezim yang ada. Sikap ini dapat dipandang sebagai penghambat kemajuan dan biasanya terkait dengan rezim yang otoriter. Contoh : masa demokrasi terpimpin dan orde baru


Sosialisasi Budaya Politik
Budaya politik merupakan hasil dari budaya manusia, yang tercipta dalam kurun waktu tertentu karena imajinasi atau ide atas budaya politik ideal tertentu. Budaya kita adalah Pancasila. Sebagai ekspresi  kebudayaan, budaya politik dapat berubah sewaktu-waktu.
Siapa yang bertugas menjalankan fungsi sosialisasi budaya politik? Ada 5 agen yang berfungsi mensosialisasikan budaya politik :
1. keluarga
2. lingkungan
3. sekolah
4. media massa
5. partai politik
Tujuan dari sosialisasi politik adalah mengenalkan kepada masyarakat budaya politik Pancasila sebagai budaya yang ideal bagi masyarakat agar dipahami dan kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

HAK ASASI MANUSIA


adalah hak dasar yang dimiliki oleh pribadi manusia sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir, dan tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri
 Ciri-ciri khusus
- hakiki, artinya HAM sudah ada sejak lahir
- Universal, HAM berlaku umum tanpa memandang status,suku bangsa, gender
- tidak dapat dicabut, HAM tidak dapat diserahkan pada pihak lain
- tidak dapat dibagi, semua orang mendapatkan semua hak,baik 
politik,ekonomi, sosbud.
HAM
} Hak yang paling dasar meliputi
1. hak hidup
2. hak kemerdekaan /kebebasan
3. hak memiliki sesuatu

} Pengelompokan hak-hak dasar manusia meliputi:
1. hak sipil dan politik
a. hak hidup
b. hak persamaan dan kebebasan
c. kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat
d. kebebasan berkumpul
e. Hak beragama
2 . Hak ekonomi, sosial dan budaya
a. hak ekonomi
b. hak pelayanan kesehatan
c. hak memperoleh pendidikan
Perjuangan Penegakan HAM Di Dunia
} Magna Charta 1215 di Inggris
 Tentang pembatasan kekuasaan raja dan HAM
} Habeas Corpus Act 1679 di Inggris
 Jaminan kebebasan warga negara dan mencegah pemenjaraan sewenang-wenang terhadap rakyat
} Bill of Rights 1689 di Inggris
 Undang-undang tentang hak dan kebebasan warga
} Declaration des droits de l’homme et du citoyen 1789 di Perancis
 Peryataan hak asasi manusia hasil dari Revolusi Perancis
} Virginia Bill of Rights 1791 di USA
Amandemen 1 konstitusi Amerika yang menegaskan hak asasi warga negara
} Universal Declaration of Human Rights 1948 di PBB
 Pernyataan sedunia tentang pengakuan HAM

Pengakuan HAM Dalam Konstitusi Negara
Dipahami bahwa Pembukaan UUD ‘45 merupakan “PIAGAM HAM INDONESIA”
} UUD ’45
-Pasal 27 s/d 31 dan 34 (pra amandemen)
-Pasal sama ,dgn Pasal 28 ditambah ayat A s/d J (pasca amandemen IV)
} Kontitusi RIS ’49
 Pasal 7 s/d 33
} UUD S’ 50
 Psl 7 s/d 34
} UU No39/99
 Pasal 9 s/d 66

Upaya Pemerintah Menegakkan HAM
 Dasar Hukum penegakan HAM
UU No 39 thn 99
 Lembaga Yang dibentuk
1. KOMNAS HAM
-bertugas mengkaji,mendidik, memantau dan memediasi mengenai pelaksanaan
HAM
2. Pengadilan HAM
- untuk mengadili pelanggaran HAM berat berdasar UU No.26 Th 2000
3. Pengadilan HAM Ad Hoc
- untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum disyahkannya UU No.26 th 2000
4. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
- untuk menyelesaikan HAM berat di luar pengadilan

Partisipasi Masyarakat Dalam Penegakan HAM
 Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
¡ Memberikan bantuan hukum kepada anggota masyarakat
 Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (Kontras)
¡ Lembaga independen yang peduli terhadap korban hilang dan tindak kekerasan yang dilakukan aparat pemerintah

Komentar Terakhir

Labels

Template Design by - Ariztu Prananda - 2013 - layout4all