Aspek Perpajakan dalam Pertambangan
Mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak. Karena itu, pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan.
Kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan kegiatan usaha pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan.
Pada umumnya suatu perusahaan yang bergerak dibidang pertambangan mempunyai siklus usaha sebagai berikut :
1. Penyelidikan umum;
2. Eksplorasi;
3. Studi Kelayakan;
4. Konstruksi;
5. Pertambangan/Eksploitasi;
6. Reklamasi
Masing-masing proses tersebut terdapat kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi oleh perusahaan. Berikut disampaikan kewajiban perpajakan masing-masing siklus:
1. Penyelidikan Umum: Untuk menentukan potensi mineral pada suatu daerah perlu dilakukan pengujian geologis, untuk itu dibutuhkan jasa dari pihak peneliti geologis untuk melakukan Penelitian. Atas jasa tersebut terutang PPN dan PPh Pasal 23/26 tergantung siapa yang melaksanakan.
2. Eksplorasi: Adalah rangkaian kegiatan penelitian, pengujian kandungan mineral, pemetaan wilayah dan kegiatan lainnya yang dibutuhkan untuk mendapatkan informasi tentang lokasi, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya serta info lingkungan sosial dan lingkungan hidup. Diperlukan jasa dari pihak ketiga yang akan terutang PPN dan PPh Pasal 23/26 tergantung pihak yang melaksanakan.
3. Studi Kelayakan: Dilakukan untuk mendapatkan informasi kelayakan ekonomis dan teknis pertambangan dan proses analisis mengenai dampak lingkungan dan perencanaan pasca tambang, studi kelayakan tersebut memuat data dan keterangan mengenai usaha tambang tersebut. Proses ini dilakukan oleh pihak ketiga yang ahli mengenai hal tersebut. Atas jasa pengujian tersebut terutang PPN dan PPh Ps 23.
4. Konstruksi: Setelah diketahui bahwa proyek pertambangan layak secara ekonomis teknis dan lingkungan, maka dilakukan pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur biasanya dilakukan oleh perusahaan konstruksi. Jasa akan terutang PPN dan PPh Pasal 4 ayat (2) atas jasa konstruksi.
5. Pertambangan/Eksploitasi: Kegiatan ini biasanya meliputi Land clearing (proses pembukaan lahan), Pengeboran dan penggalian, pengolahan/pemurnian, pengangkutan dan penjualan. Atas jasa yang dilakukan oleh pihak ketiga terutang PPh Pasal 23/26 dan PPN.
6. Reklamasi: Adalah proses rehabilitasi lingkungan yang rusak akibat kegiatan penambangan. Apabila proses reklamasi dilakukan oleh pihak ketiga maka akan terutang PPh Pasal 23/26 dan PPN.
Selain jenis pajak tersebut diatas, juga terdapat kewajiban pembayaran pajak atas PPh Pasal 21 yaitu untuk pegawai tetap, pegawai tidak tetap, orang pribadi yang bukan pegawai atas upah yang diterima.
Ketentuan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perusahaan Pertambangan
Selain hal-hal diatas, harus diperhatikan juga tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
1. Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pada:
a. Pasal 1 Angka 1 menyatakan bahwa Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang rneliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang;
b. Pasal 128 menyatakan bahwa Pemegang IUP atau IUPK wajib membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah. Pendapatan negara yang dimaksud yang terdiri atas penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak. Adapun penerimaan pajak yang dimaksud terdiri atas pajak-pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan serta bea masuk dan cukai.
Sedangkan penerimaan negara bukan pajak terdiri atas iuran tetap, iuran eksplorasi, iuran produksi, dan kompensasi data informasi. Dalam hal pendapatan daerah terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah dan pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 Tentang pajak Bumi dan Bangunan yang menjadi obyek pajak bumi dan bangunan adalah bumi dan/atau bangunan dan yang menjadi subyek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
3. Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-16/PJ.6/1998 Tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada Pasal 1 Angka 8, Sektor Pertambangan adalah objek Pajak Bumi dan Bangunan yang meliputi areal usaha penambangan bahan-bahan galian dari semua golongan yaitu bahan galian strategis, bahan galian vital dan bahan galian lainnya;
4. Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-16/PJ.6/1998 Tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada Pasal 8, Besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas objek Pajak Sektor Pertambangan Non Migas selain Pertambangan Energi Panas Bumi dan Galian C ditentukan sebagai berikut:
a. Areal Produktif adalah sebesar 9,5 x hasil bersih galian tambang dalam satu tahun sebelum tahun pajak berjalan.
b. Areal belum produktif, tidak produktif dan emplasemen serta areal lainnya didalam atau diluar wilayah kuasa pertambangan, adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya.
c. Objek Pajak berupa bangunan adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 15.
5. Sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-47/PJ.6/1999 Tentang Penyempurnaan Tata Cara Pengenaan Pbb Sektor Pertambangan Non Migas Selain Pertambangan Energi Panas Bumi Dan Galian C Sebagaimana Diatur Dengan Surat Edaran Nomor : Se-26/Pj.6/1999, pengenaan PBB atas areal belum produktif dan areal tidak produktif disempurnakan dengan memperhitungkan tahapan kegiatan penambangan sebagai berikut:
a. Penyelidikan umum, adalah sebesar 5% dari luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan;
b. Eksplorasi pada tahun ke-satu s/d ke-lima, masing-masing sebesar 20% dari luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan;
c. Eksplorasi untuk perpanjangan I dan II, adalah sebesar 50% dari luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan;
d. Pembangunan Fasilitas Eksploitasi (konstruksi) sampai dengan produksi adalah luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan.
Ketentuan Fiskal (Perpajakan)
Dalam UU Minerba, beberapa ketentuan fiskal di dalam UU Minerba adalah sebagai berikut:
a. Tarif perpajakan mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku dari waktu ke waktu/ prevailing law (Pasal 133 Ayat 3 dan Ayat 5, Pasal 136).
b. Adanya kewajiban perpajakan tambahan sekitar 10%, yakni 6% untuk pemerintah pusat dan 4% untuk pemerintah daerah (Pasal 134 Ayat 1).
c. Besaran tarif iuran produksi (royalty) ditetapkan berdasarkan tingkat pengusahaan, produksi dan harga (Pasal 137 Ayat 1).
Saat ini UU Minerba yang baru yaitu Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 (UU No. 4/2009) tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menggantikan UU No. 11/1967. Usaha pertambangan sesuai dengan Pasal 35 UU No. 4/2009 dilaksanakan dalam bentuk:
1. IUP atau Izin Usaha Pertambangan,
2. IPR atau Izin Pertambangan Rakyat, dan
3. IUPK atau Izin Usaha Pertambangan Khusus.
Dengan diberlakukannya UU No. 4/2009, sesuai dengan ketentuan penutupnya, UU No. 11/1967 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Namun demikian, tidak semua ketentuan yang ada pada UU No. 11/1967 tersebut dicabut dan langsung dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dalam ketentuan peralihan Pasal 169 huruf a UU No. 4/2009 dinyatakan bahwa Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) masih berlaku sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian. Hal ini dikarenakan KK dan PKP2B merupakan suatu kontrak yang sah dan harus dihormati oleh pihak-pihak yang membuat.
Dalam ketentuan peralihan Pasal 169 huruf a UU No. 4/2009 dinyatakan bahwa Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) masih berlaku sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian. Hal ini dikarenakan KK dan PKP2B merupakan suatu kontrak yang sah dan harus dihormati oleh pihak-pihak yang membuat.
0 komentar:
Posting Komentar